Cerita trekking Everest Base Camp #1
Tanggal 7 Mei 2023 lalu, aku bergabung di 5k club: aku mencapai Everest Base Camp (EBC) di ketinggian 5364 meter setelah trekking di jalur klasik EBC di Nepal.
Orang-orang yang kenal aku zaman sekolah dan kuliah pasti tahu kalau dulu aku sangat payah di pelajaran olahraga dan aktivitas fisik.
Bagaimana ceritanya sampai hiking di pegunungan Himalaya?
Tulisan ini akan berisi tentang persiapanku sebelum pergi ke EBC, cerita selama di perjalanan, dan apa yang perlu diantisipasi dan packing list untuk calon pendaki.
Persiapan ke EBC
Waktu SD aku termasuk yang dipilih paling belakang sebagai anggota tim kalau ada pembagian group kasti. Waktu kuliah, aku pernah coba ikut rafting di Kali Elo dan malah sukses jadi sasaran bully. Saat ada arus deras dan raft kena hentak batu-batu, aku terlempar dari dalam raft dan sempat hanyut di sungai.
Karena saat itu malah ditertawakan baik oleh teman-teman lain maupun instruktur rafting, aku kapok dan ga mau lagi ikut apapun kegiatan yang melibatkan fisik dan (pecinta) alam.
Naik gunung? Mimpi pun tidak pernah.
Selain tidak pernah ada yang mengajak (karena terlalu tidak meyakinkan), aku pun juga merasa dulu sepertinya ngga akan sanggup dan malah akan merepotkan orang lain.
Sejak beberapa tahun belakangan aku rutin olahraga. Dulu tujuannya supaya kurus karena lelah dibilang gemuk. Lama-lama dari terpaksa akhirnya jadi kebiasaan. Dari situ, aku pun berani untuk mencoba beberapa trek day hikes. Salah satu yang pernah kulakukan adalah trek Roys Peak di Wanaka, New Zealand. Aktivitas lain yang pernah kulakukan adalah road trip dan trekking dua minggu di Taman Nasional Banff & Jasper di Kanada.
Karena ternyata mampu dan suka, aku tertarik untuk hiking lagi sambil sekalian melihat bagaimana kemampuan fisik diri sendiri.
Januari tahun 2000, aku mendaftar untuk trekking Annapurna Circuit dan danau Tilicho di Nepal ke halonepal. Saat itu, aku sudah bayar uang muka dan beli tiket pp Jakarta-Kathmandu. Aku pun juga sudah mulai persiapan fisik untuk trekking dua minggu di Annapurna.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 mulai meledak di bulan Maret 2020. Penerbanganku dibatalkan dan di-refund full oleh Singapore Airlines. Trip ke Nepal pun ditunda sampai ke saat yang belum ditentukan.
Fast forward ke akhir tahun 2022, aku kontak kembali dengan Mas Bayu dari halonepal. Setelah berpikir kembali dan melihat jadwal trip yang ada, aku akhirnya beralih dari niat trekking di Annapurna ke Everest Base Camp dan Gokyo Ri. Tujuanku ke Gokyo lebih ke bukan untuk summit tapi ingin melihat danau.
Karena sudah punya workout routine, aku tidak ramp-up aktivitas persiapan fisik yang bagaimana-bagaimana. Mendekati bulan-bulan keberangkatanku ke Nepal, latihan dan kegiatanku kurang lebih fokus pada hal-hal berikut:
- Workout untuk core dan lower body supaya kuat jalan di tanjakan.
- Workout untuk memperkuat upper body supaya kuat bawa ransel.
- Endurance training supaya kuat jalan berjam-jam selama beberapa hari.
- Brisk walking setidaknya 10km tiap hari Minggu.
- Selalu ambil opsi tangga dibandingkan elevator kalau ke stasiun MRT.
Untuk gambaran seperti apa bentuk olahraga yang biasa kulakukan, bisa search Kick-off with Betina Gozo atau Ignite & Inspire with Kirsty Godso di Netflix.
Sekitar dua minggu menjelang keberangkatan ke Kathmandu, aku rehat total dari olahraga. Tujuannya supaya tidak apes kena cedera dan badan sudah istirahat yang cukup.
Selain persiapan fisik, aku juga mengumpulkan pakaian dan peralatan yang akan dibawa. Apa saja barang yang perlu calon hikers siapkan ada di bagian ketiga tulisan ini.
Catatan Perjalanan
Paket yang kuikuti adalah open trip. Aku nekat saja mendaftar sendiri dan menyerahkan diri pada takdir nanti akan sekelompok dengan siapa saja.
Di rombonganku, ada 10 orang di group menuju Everest Base Camp di luar travel buddy. Dari 10 peserta tersebut, 4 orang (termasuk aku) akan lanjut dari EBC ke Gokyo.
Belakangan, aku baru akan tahu kalau aku sangat beruntung mendapat group dengan komposisi seperti yang kudapat.
28 April: Jakarta (8 m) — Kathmandu (1400 m)
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Aku ke Kathmandu dari Jakarta transit Singapore menggunakan Singapore Airlines. Aku sampai di bandara Tribhuvan, Kathmandu malam waktu setempat bersama 4 orang anggota tim yang lain. Kami dijemput oleh wakil dari halonepal dan diantar ke hotel Aryatara di Thamel street.
29 April: Kathmandu (1400 m)
Hari ini kami gunakan untuk chill dan berkenalan dengan peserta lain yang sudah tiba lebih dulu di Kathmandu.
Aku dan beberapa anggota rombongan lain pergi melihat-lihat kota, membeli sim card plus paket data (waktu itu pakai operator Ncell), dan ke toko perlengkapan untuk melengkapi gear seandainya ada yang kurang.
Waktu itu kami semua membeli crampon untuk berjaga-jaga jika harus berjalan di salju yang mulai mencair.
Hari ini juga digunakan untuk briefing pendakian oleh Mas Rizky, travel buddy dari halonepal, dan juga packing barang. Karena batasan pesawat, tiap peserta hanya boleh membawa maksimum 2 x 5 kg barang: satu tas ransel untuk dibawa ke kabin, dan satu duffel bag untuk masuk ke bagasi pesawat. Batasan berat ini sangat ketat, jadi sebaiknya pastikan dari awal apa saja yang mau dibawa di tas apa dengan berat berapa.
30 April: Kathmandu (1400 m)— Ramechhap (1218 m) — Lukla (2860 m) — Phakding (2610 m)
Kota Lukla di Nepal adalah kota yang umumnya digunakan oleh para pendaki untuk memulai perjalanan di Himalaya.
Pemerintah Nepal sepertinya melihat ini sebagai kesempatan ‘pemerataan pembangunan’: tidak boleh ada penerbangan langsung dari Kathmandu ke Lukla. Penerbangan ke Lukla hanya boleh dari kota Manthali, yang notabene letaknya in the middle of nowhere.
Penerbangan ke Lukla cuma ada pagi sampai menjelang siang. Karena butuh 5 jam jalan darat dari Kathmandu ke Ramechhap, kami berangkat dari hotel di Kathmandu pukul 2 malam guna mengejar penerbangan pagi ke Lukla.
Kata teman-teman, jalanan ke Ramechhap ini sangat horor karena tidak rata dan belokan-belokannya mengerikan.
Aku tidak sadar karena sibuk tidur.
Bandara Ramechhap sama sekali tidak terlihat dan terasa seperti bandara. Lebih mirip terminal bus kecil yang semrawut. Sementara Kumar, partner travel lokal di Nepal, me-reserve tiket untuk kami semua, kami menimbang dan repacking bagasi.
Setelah menunggu cukup lama, penerbangan kami dipanggil:
“206, 206”.
Persis seperti kernet memanggil orang untuk naik ke angkot.
Pesawat ke Lukla menggunakan pesawat ATR kecil. Cuma ada rombongan kami beserta dua mas-mas (yang dari logatnya) Amerika di dalam penerbangan 206.
Penerbangan ke Lukla seharusnya hanya makan waktu 20–30 an menit. Saat kami seharusnya mendekati sampai, pramugari meminta maaf kepada kami semua karena penerbangan harus putar balik ke Ramechhap akibat cuaca: kabut terlalu tebal sehingga pesawat tidak bisa mendarat.
Waduh.
Sedih banget 1 jam di udara cuma buat kembali ke tempat semula :(((
Baru berangkat sudah diingatkan oleh pegunungan Himalaya kalau apapun rencana kita, ia yang menentukan :’).
Kami cuma bisa menunggu dan berharap supaya cuaca di Lukla segera membaik: kalau kami tidak bisa terbang hari itu, berarti seluruh rencana ke belakang bisa geser.
Belum lama duduk kembali di ruang tunggu, kami kembali dipanggil petugas:
“206, 206. Quick, run, run, run!”
Kami diminta cepat kembali ke pesawat takut cuaca kembali jelek. Kami lari-lari ke pesawat persis seperti mengejar angkot.
Pesawat take-off dan kami kembali di perjalanan.
Puji Tuhan, di penerbangan kedua cuaca di Lukla kali ini bagus dan kami mendarat dengan selamat di airport Tenzing-Hillary Lukla.
Airport ini selama 20 tahun dikenal sebagai bandara paling berbahaya di dunia. Sebagai penumpang pesawat yang landing di sana, aku baru bisa paham sepenuhnya apa kata program Most Extreme Airports yang kutonton bertahun-tahun lalu:
- Airport Lukla diapit oleh pegunungan tinggi di kiri-kanan-belakang dan turunan tajam ke lembah di depan.
- Runway Lukla pun pendek di angka ~500 meter. Sebagai perbandingan, runway airport Soekarno-Hatta di ~3000 meter.
- Akibat kontur dataran dan runway yang pendek, hanya sedikit wiggle room untuk error saat akan mendarat.
Pendeknya runway ini sangat terasa waktu landing. Pesawat touch down dan tahu-tahu saja sudah belok tajam untuk taxi ke tempat parkir.
Di Lukla, kami makan dulu mengisi perut yang kelaparan setelah drama pesawat buy one get one free. Di tempat makan siang itulah kami dikenalkan dengan tim porter dan lead mereka, Prakash, yang akan ‘menempel’ pada kami sepanjang perjalanan.
Selesai break makan, kami lanjut trekking sekitar 3 jam. Semua peserta registrasi dulu di gerbang masuk kawasan Sagarmatha National Park.
Sekitar pukul 4 atau 5 sore, kami sampai ke penginapan kami di Phakding.
Semua peserta istirahat dan makan untuk recharge badan yang sudah beraktivitas sejak pukul 2 pagi.
Hari pertama menginap di Phakding, kami bertemu dengan what’s yet to come for the rest of the journey:
- Lodge/tea house punya struktur kurang lebih seperti ini:
Dining/common room. Ini ruangan di mana semua tamu berkumpul untuk makan dan berdiang. Biasanya pemanas gas dan tempat untuk charging ada di sini.
Kamar-kamar tamu, ada yang punya kamar mandi di dalam dan ada yang tidak.
Kamar mandi umum dengan air panas berbayar. Harus bayar dulu ke resepsionis supaya air panas di sini dinyalakan. - Tidak ada colokan listrik di dalam kamar. Colokan hanya ada di dining room dan berbayar.
- Tidak ada wifi di dalam kamar. Sukur-sukur dapat sinyal internet di dalam kamar. Seandainya ada wifi, letaknya hanya di sekitaran dining room dan berbayar.
- Tidak ada pemanas di dalam ruangan. Pemanas dengan gas cuma ada di dining room dan dimatikan saat bahan bakar habis di malam hari.
- Seprai dan selimut sering kali lembab. Kalau awal-awal berbaring di kasur pakai selimut, bukannya hangat malah kedinginan.
- Air sedingin es. Apa itu mandi?
- Tidak ada tissue toilet. Harus bawa sendiri.
1 Mei: Phakding (2610 m)— Monjo (2835 m)— Namche Bazaar (3440 m)
Hari baru, drama baru.
Kami start berjalan pagi dari Phakding menuju tempat makan di Monjo.
Tantangan di hari ini adalah hujan dan elevasi curam yang nanti akan kami hadapi mendekati Namche.
Selain trek yang berlumpur akibat hujan dan jalanan yang menanjak, tidak ada yang khusus dari perjalanan ke Monjo. Drama-drama baru bermunculan di perjalanan dari Monjo ke Namche Bazaar.
Hujan terus turun dan elevasi terus bertambah. Selepas Monjo, makin banyak trek berupa tangga.
Di perjalanan dari Monjo ke Namche inilah aku mulai merasakan sakit di kaki kanan: bagian luar lutut kanan sakit jika kupakai menekuk dan bertumpu untuk naik turun tangga.
Kami akhirnya melewati jembatan gantung Hillary. Jembatan ini adalah jembatan gantung terakhir sebelum mencapai Namche Bazaar.
Berarti sudah dekat dan mau sampai, dong?
Tidak semudah itu, Ferguso.
Jembatan gantung Hillary ternyata adalah penanda kalau trek di depan adalah bagian yang paling melelahkan.
Sakit di lututku makin menusuk sehingga pace-ku pun makin lambat. Aku bilang ke Prakash kalau kaki kananku sakit untuk naik turun tangga sehingga aku akan melambat dibanding pace-ku semula.
Sementara itu, di jalan kami bertemu dengan seorang perempuan yang mlipir ke pinggir trek. Belakangan, kami baru tahu kalau dia dari Vietnam.
Ia terlihat dan merasa sangat tidak sehat. Ia hanya ditemani seorang warga lokal yang sepertinya porternya.
Ke mana rombongannya? Sedihnya adalah dia ditinggal sendirian bersama porter karena ‘lama’ sementara anggota rombongannya pergi dulu menuju Namche. Mungkin akibat dia merasa sakit, ia minta yang lain duluan saja.
Dari penampakan, ia tampak terlalu tidak sehat untuk lanjut berjalan. Dari keluhannya, ia sepertinya terkena altitude sickness: sakit kepala, tidak sehat, dan tidak ada tenaga.
Ia pun tidak membawa obat ataupun makanan.
Ia mulai berbaring di pinggir trek.
Karena rombongan kami tidak tega meninggalkannya, kami menawarkan apa yang bisa kami bantu. Aku memberinya coklat Kitkat. Mas Rizky dari rombongan kami menyelimutinya dengan semacam selimut solar.
Berhubung ia merasa tidak nyaman karena terlalu banyak orang yang berkerumun ingin membantu, akhirnya hanya Mas Rizky, Ko Iwan, dan Joshua di rombongan yang tinggal untuk membantu. Yang lain jalan terus.
Akan tetapi, sakit di daerah lututku makin parah; jalanku jadi sangat lambat. Padahal hari makin petang dan hujan terus turun. Dengan pace sekarang, aku takut hari keburu gelap.
Akan sangat merepotkan kalau mesti berjalan saat gelap, menanjak, dan hujan.
Sementara ada drama si mbak Vietnam dan aku sibuk menghadapi drama kakiku sendiri, ada drama lain yang ternyata mulai merebak.
Salah satu anggota tim kami, nama disamarkan, merasa kram perut parah yang membuat jalan menanjak terasa sangat berat. Ia pun juga merasa tangannya sangat kedinginan. Hujan yang turun pun tidak membantu karena gloves yang ia pakai jadi basah.
Bagaimana nasib mbak Vietnam?
Bisakah tim kami mencapai Namche sebelum gelap?
Bagaimana aku sampai ke Namche di tengah sakit kaki yang makin menusuk?
Cari tahu lanjutannya di bagian kedua.