Cerita trekking Everest Base Camp #2
Tulisan ini adalah bagian dari catatan perjalananku selama trekking di jalur klasik EBC. Part 1 bisa dibaca di sini.
Cerita pertama berakhir di trek antara Hillary Bridge dan Namche Bazaar. Nama Hillary diambil dari Edmund Hillary, nama salah satu dari duo yang pertama kali sampai di puncak Everest. Jembatan gantung Hillary adalah jembatan yang menandai seperempat ‘sisa’ perjalanan dengan trek paling menanjak.
Hari itu kami sudah berjalan sekitar 5 atau 6 jam. Udara sangat dingin dan setengah perjalanan kami lalui dengan kehujanan.
Saat itu, kami dibayangi kemungkinan berjalan saat sudah gelap karena beberapa kendala di jalan: lutut kaki kananku sakit untuk menumpu naik turun tangga, sebagian tim membantu seorang mbak Vietnam yang sakit dan ditinggal sendiri oleh rombongannya, dan ada anggota tim yang kram perut dan kedinginan.
Untuk mengurangi beban di kakiku, Prakash membawakan ranselku. Akibat kaki makin sakit, Ko Iwan, salah satu anggota tim, memberiku dua macam pain killer untuk kuminum:
- Eperisone HCl 50 mg
- Cataflam 50 mg
Selain punya obat buat keluhanku, Ko Iwan juga membawa obat untuk bisa diminum oleh Mbak Vietnam.
Belakangan, kami baru tahu kalau Ko Iwan ini lengkap sekali stok obat dan peralatan first aid-nya. Menurut beliau, ia sering sakit-sakit dan sudah menderita berbagai macam cedera di pengalamannya traveling dan naik gunung selama ini.
“Cedera satu kaki sakit pernah. Cedera dua kaki sakit ga bisa jalan akhirnya turun gunung merangkak juga pernah.”
List obat yang ia bawa ia susun berdasarkan cederanya selama ini.
Kedua obat dari Ko Iwan rupanya cukup keras: rasa sakit menusuk di bagian lututku langsung hilang. Aku bisa berjalan dan naik turun trek tangga seperti biasa.
Aku pun kembali ke kecepatan berjalan semula dengan Prakash menemaniku berjalan di depan.
Saat itu, aku tidak tahu perkembangan si mbak Vietnam dan adanya anggota tim lain yang ternyata sedang kram perut. Bukan apa-apa, aku hanya takut kalau efek obat hilang sementara aku belum sampai ke Namche.
Aku dan Prakash makin terpisah dari anggota tim lainnya. Di pos check point terakhir sebelum Namche, aku dan Prakash sempat menunggu kemunculan anggota tim lain.
Karena saat itu aku menunggu di tengah hujan dan efek pain killer bisa hilang sewaktu-waktu, Prakash memintaku jalan duluan mengikuti trek.
Aku pun meneruskan trek sendirian. Beberapa kali aku berjalan sambil menengok belakang berharap anggota tim muncul di tikungan.
Akhirnya aku masuk ke kawasan Namche Bazaar. Jalanan sepi karena hujan. Aku mesti jalan ke mana?
Seorang warga Nepal yang tinggi besar mendekatiku. Ia bilang:
“I am with your team. The lodge is just around 15–20 minutes ahead.”
Karena tidak hapal muka anggota tim porter dari Kumar dan curiga ditipu preman akamsi, aku menanyakan nama lodge tempat kami menginap.
Ternyata namanya cocok dengan yang sempat kutanyakan ke Prakash sebelumnya. Berarti orang ini benar anggota tim.
Namanya Harka (atau Arka?). Ia sepertinya dikabari oleh Prakash kalau aku ada sendiri di depan dan butuh dijemput.
Aku ingin percaya apa yang ia katakan kalau tempat menginap “just around 15–20 minutes ahead” karena biasanya angka-angka begini bohong.
Memang benar “15 minutes ahead” tapi tetap ada tapinya.
Nama tempat menginap adalah Hotel Hill-ten, plesetan dari hotel Hilton. Sesuai namanya yang ada kata “hill”, hotel ini letaknya ada di puncak bukit di pinggir kota. Mesti naik ke puncak bukit melalui tangga-tangga untuk sampai ke penginapan :’)).
Menjelang pukul setengah 6 sore waktu setempat, aku masuk ke dining room Hill-ten. Aku lega karena lolos dari berjalan di tengah hujan, udara dingin, dan kemungkinan berjalan di bawah gelap. Jas hujan kuserahkan pada Harka untuk digantung.
Sambil meluruskan kaki kanan, aku menunggu kedatangan anggota timku yang lain.
Senang sekali saat akhirnya Prakash muncul di dining room.
Satu per satu anggota tim bermunculan.
Anggota tim yang sakit kram perut pun akhirnya muncul meskipun dalam keadaan lelah dan kedinginan. Di akhir perjalanan, ia bercerita kalau saat itu sempat desperate dan berpikir apa harus balik ke Kathmandu saja. Tapi dengan adanya pasangannya dan Kumar yang terus menemani, ternyata ia mampu sampai ke Namche Bazaar.
Kami bertepuk tangan saat tiga anggota Mbak Vietnam rescue muncul paling belakang dan tim kami akhirnya lengkap.
Kalau ada di rumah atau pergi liburan ke negara maju dengan empat musim, hal yang paling enak dilakukan setelah lelah seharian jalan di udara dingin dan hujan kurang lebih seperti ini:
Masuk kamar.
Menghidupkan pemanas ruangan.
Mandi air panas.
Makan mie instan panas.
Charge semua gadget di kamar.
Masuk selimut.
Connect wi-fi.
Doom scrolling di handphone atau nonton streaming sampai ngantuk dan tidur.
Luxury seperti itu sayangnya tidak ada di sepanjang perjalanan :))
Tiduran di kamar malah tambah kedinginan kalau tidak pakai layers. Lebih baik di ruang makan karena ada pemanas gas.
Aku berdiang di dekat pemanas bergantian dengan Mbak Dita dan Opa Bowo.
Semua, termasuk para porter, memanggil beliau Opa karena beliau paling senior di usia 64 tahun. Opa adalah idola kami semua: di usia tersebut beliau masih sehat dan fit. Kebanyakan peserta bilang tidak yakin akan kuat dan berani mengambil trek EBC di usia tersebut. Opa senang bercerita dan mudah berbaur dengan semuanya meski usia para peserta terpaut jauh dengan beliau.
Setelah browsing, aku baru tahu kalau rasa sakit di bagian luar lutut kanan adalah IT band syndrome. Aku juga baru tahu kalau IT band syndrome adalah rasa sakit yang umum dialami runners dan hikers. Baru kali ini kena dan aware dengan adanya sindrom ini karena sebelumnya, sewaktu aku hiking beberapa hari berturut-turut di Kanada tidak pernah kena.
Aku merasa agak lega setelah tahu kalau rasa sakit tersebut umum ditemui para runners dan hikers. Rasa sakitnya akan hilang dengan istirahat.
Yang membuat kepikiran adalah:
Sampai seberapa lama kaki harus istirahat agar saat berjalan tidak sakit lagi?
Di malam itulah aku merasa paling galau dan overthink karena kepikiran kaki:
Ini baru hari kedua berjalan. Perjalanan masih panjang.
Makin besok, pendakian mestinya akan makin berat dengan penambahan elevasi.
Apakah aku harus konsumsi painkiller sepanjang sisa perjalanan? Bagaimana kalau ternyata painkiller tidak mempan?
Bagaimana kalau tambah parah makin naik?
Bagaimana kalau nanti mesti evakuasi darurat yang mahal?
“Ayo, kita harus sampai ke Gokyo,” Ko Iwan menyemangatiku. Ia adalah salah satu dari empat orang yang akan ke Gokyo setelah EBC.
Ada beberapa advice yang ia berikan untuk mencegah sakitnya datang lagi yang menurutku masuk akal:
- Kurangi beban di tas.
- Saat di awal, jalan pelan-pelan saja. Nanti badan akan menambah kecepatan dengan sendirinya kalau sudah ‘panas’.
- Saat melangkah, kurangi hentakan/impact ke kaki.
Di malam itu, dari empat orang yang berencana ke Gokyo, memang aku yang kelihatan paling terancam karena sakit di lutut.
Kata Mas Fahmi, seorang anggota ke Gokyo lain berkata:
Sepertinya tiap hari kita pikirkan saja survive sampai makan siang. Dari makan siang ke makan malam. Dan seterusnya. Ga usah khawatir yang terlalu jauh-jauh.
Benar juga. Aku pun kembali fokus ke untuk menghabiskan piring nasi goreng di depan demi bisa recharge tenaga dan istirahat.
2 Mei: Namche Bazaar (3440 m)
Hari ini adalah hari aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah proses untuk membiasakan badan pada suatu ketinggian. Berhubung udara makin tipis saat makin naik dari permukaan laut, oksigen yang diperoleh oleh paru-paru saat bernapas makin sedikit dibanding biasanya. Tubuh perlu membiasakan diri dengan keadaan baru ini.
Aturan aklimatisasi intinya adalah tidak boleh terlalu sat set kalau mendaki di ketinggian:
- Tidak perlu aklimatisasi pada ketinggian di bawah 3000 m.
- Tidak boleh naik lebih dari ~300 -400 m per hari.
- Wajib aklimatisasi kembali setelah naik 900–1000 m.
Hari aklimatisasi bukan berarti pendaki bisa beristirahat total. Di hari aklimatisasi pendaki harus naik ke elevasi yang 300 an meter lebih tinggi, tinggal di sana sampai beberapa lama supaya badan terbiasa, kemudian wajib turun lagi.
Di hari ini pula kebanyakan peserta mulai ‘ngobat’. Kami konsumsi Diamox untuk membantu badan membiasakan diri dengan ketinggian lebih cepat.
Nanti makin ke atas, ‘ngobat’-nya makin aneh-aneh :)).
Perlu diingat kalau rules atas dan konsumsi Diamox adalah upaya untuk aklimatisasi dan tidak menjamin kalau pendaki tidak akan terkena efek ketinggian.
Rencana awal aklimatisasi adalah mendaki ke Everest View Hotel yang akan makan waktu pp sekitar 5 jam. Akan tetapi karena langit berkabut sehingga tidak bakal kelihatan apa-apa dari hotel tersebut, kami akan mendaki ke belakang hotel Hill-ten.
Saat sarapan pagi aku duduk di sebelah Joshua.
Joshua adalah seorang warga negara AS ex-US navy berusia 40an.
Entah karena faktor ia memang bule tinggi, ia ex-US navy, atau kombinasi dari keduanya memberi efek eksponensial, Joshua seperti punya unlimited energy. Joshua pernah summit ke Kilimanjaro dan pernah beberapa kali menyelesaikan ultramaraton 100k.
Tidak heran kalau di saat yang lain sudah lelah, ia masih bisa naik turun trek sambil menari-nari. Makanya Joshua masih punya energi berlebih untuk membantu si Mbak Vietnam di tengah trek menanjak, dingin, dan hujan.
Joshua ini senang sekali bercerita. Ia akan bercerita tentang berbagai pengalamannya kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
Aku bertanya tentang cerita si Mbak Vietnam selepas aku pergi jalan duluan bersama Prakash.
Kata Joshua, ia sebenarnya tidak berbuat banyak. Intinya adalah, ia hanya membantu supaya si Mbak Vietnam itu bisa bangun dan berjalan lagi. Ditinggal sendiri oleh rombongan saat sakit tentu membuat down. Setelah itu, ia menemani si Mbak Vietnam berjalan sampai ke penginapannya dengan tenaga sendiri tidak peduli sepelan apapun.
Joshua adalah orang yang memanfaatkan energinya yang berlebih untuk menemani dan memberi mental support seseorang sampai orang tersebut bisa melakukan apa yang perlu dilakukan dengan kemampuan mereka sendiri.
Mengomentari keadaan di mana si Mbak Vietnam yang ditinggal sendiri oleh rombongannya, Joshua bilang padaku:
I will never ever leave you alone. Never.
Di tahap akhir trek nanti, Joshua menepati kata-katanya itu padaku.
Setelah sarapan, kami mulai mendaki ke sebuah view point. View point tersebut biasa didatangi orang-orang kalau ingin melihat berbagai puncak yang terkenal di Himalaya.
Aku senang karena pagi itu kakiku tidak sakit. Aku bisa naik turun tangga baik di trek aklimatisasi maupun di kota Namche yang dipenuhi tangga. Jalan pelan di awal, hindari hentakan, kurangi beban di punggung; aku jalan seperti saran dari Ko iwan.
Berhubung kabut, sayangnya pemandangan pegunungan sekitar cuma kelihatan abu-abu. Ada dua hal yang istimewa saat kami naik untuk aklimatisasi:
Yang pertama adalah, hari itu turun salju kecil-kecil yang merupakan pengalaman salju pertama bagi beberapa peserta.
Hal istimewa kedua adalah … kami kembali bertemu Mbak Vietnam saat turun dari aklimatisasi. Selalu ada cerita setelah bertemu Mbak Vietnam. Apa itu? Kita simpan sebagai side story :))
Namche adalah kota paling besar selepas Kathmandu. Kota ini adalah tempat yang populer sebagai tempat aklimatisasi oleh para pendaki. Di Namche terdapat banyak fasilitas yang tidak bisa ditemui di tempat lain, mulai dari salon, pub, toko elektronik, sampai tempat makan Jepang yang kami datangi untuk makan siang.
Karena makin ke atas bakal makin ngga ada apa-apa, Namche adalah kesempatan untuk mencari dan membeli barang yang kurang. Beberapa teman membeli topi bulu yak, beberapa teman lain membeli jas hujan UMKM lokal menggantikan jas hujan yang mereka bawa dari Indonesia (Hint: bawa jas hujan kresek tipis yang dibeli di Indomaret untuk trekking di Himalaya ternyata bukan ide bagus).
Di Namche ini pun aku beli ibuprofen untuk stock painkiller dan fleece hoodie Sherpa, merk native Nepal, karena khawatir layer yang kubawa kurang.
Berhubung setelah makan siang adalah acara bebas, aku dan beberapa teman minum kopi di salah satu cafe di kawasan nongkrong akamsi. Mba Tiwi, teman sekamarku, pergi ke salon demi bisa keramas air panas setelah beberapa hari ngga mandi :))
3 Mei: Namche Bazaar (3440 m) — Tengboche (3860 m)
Setelah satu hari aklimatisasi, waktunya kami melanjutkan perjalanan. Pagi itu, setelah berhari-hari hanya bertemu mendung, hujan, dan kabut yang gloomy, kami disambut oleh udara yang cerah dan langit yang biru.
It was an absolutely beautiful day.
Kami berjalan dikelilingi pemandangan pegunungan berselimut salju yang luar biasa.
Di hari itulah kami juga pertama kali melihat puncak-puncak di pegunungan Himalaya dan termasuk Everest Peak.
Anggota-anggota tim yang sempat tidak enak badan di perjalanan merasa sehat kembali. Kakiku pun hari itu tidak berulah.
Seperti kata Mas Fahmi: “Semua sakit-sakit langsung hilang”.
Di jalan, Prakash menunjukkan jembatan Hillary problematik yang kami lalui dua hari yang lalu. Jembatan tersebut tampak kecil nun jauh di bawah sana. Pantas saja kami kepayahan waktu naik.
Hari itu kami berhenti rehat dua kali, yang pertama untuk minum teh dan mencoba apple pie di cafe namanya Tashi Delek, sebelum sungai Dudh Koshi. Break yang kedua nanti adalah untuk makan siang tepat setelah menyeberang sungai Dudh Koshi.
Trek dari Namche diawali dengan tanjakan, tapi setelah itu jalanannya cukup rata. Yang menyebalkan adalah di tengah perjalanan treknya terus turun sampai ke pinggir sungai yang elevasinya di bawah Namche.
Kalau turunannya banyak, berarti nanti balasan tanjakannya akan lebih sadis.
Benar saja, di (lagi-lagi) seperempat perjalanan terakhir, kami harus membalas kembali semua elevasi yang hilang (akibat turun ke pinggir sungai) plus tambahan bunga.
Rasanya tidak selesai-selesai tanjakan sadis menuju Tengboche, sampai Mas Rizky, travel buddy kami bilang: “ini sudah sampai.”
Ah, bohong.
“Benerraan.”
Benar, saat kami sampai di puncak sebuah tanjakan, kami langsung disambut oleh Tengboche Monastery. Beberapa bocah calon biksu sedang lari-larian di halaman monastery.
Selamat datang di Tengboche. Ketinggian desa Tengboche ternyata sudah melebihi ketinggian Kerinci (3805 m) dan Rinjani (3726 m).
Kali ini, tempat menginap kami tidak jauh, namanya Trekkers Lodge.
Hanya ada dua pengurus lodge yang berinteraksi secara langsung dengan kami, dua-duanya berkesan. Yang pertama adalah Prabhu, caretaker Trekkers Lodge tempat menginap di Tengboche ini, dan yang kedua adalah Didi, caretaker penginapan di Dingboche nanti.
Mungkin karena masih muda, sekitar 20-an akhir, dan bahasa Inggrisnya jago, Prabhu sering mencoba berinteraksi langsung dengan tamu-tamunya, termasuk kami. “Sok mingle” kalau kata Mas Fahmi dan “cengengesan” kalau kata Mba Tiwi.
Saat aku menunggu makan malamku datang, sambil senyum-senyum Prabhu bertanya padaku apa aku minat untuk tidur di dining room saja yang ada pemanas.
Oalah, iya, bener, cengengesan dan pengin coba-coba mingle.
Trekkers lodge adalah satu-satunya penginapan di trek yang punya colokan untuk charge handphone di masing-masing tempat tidur di kamar. Tempat ini juga tidak mengenakan charge lebih untuk mengisi daya gadget lain seperti power bank atau smartwatch.
Sayangnya banyak yang mengartikan ‘tidak bisa charge selain HP di kamar’ sebagai ‘tidak boleh charge yang gede-gede karena kami ngga mau listrik kami boros’.
‘Tidak bisa” ini memang secara teknis tidak bisa: listriknya tidak kuat jika digunakan untuk charge benda-benda dengan daya di atas HP sehingga akan mematikan listrik seluruh kamar tamu. Banyak sekali tamu bandel yang membuat bukannya bisa charging, malah mematikan listrik semua tamu sepanjang malam.
4 Mei: Tengboche (3860 m) — Dingboche (4410 m)
Malam di Tengboche adalah malam di mana aku mulai tidak bisa tidur.
Tidur sebentar, bangun. Tidur sebentar, bangun. Akhirnya diikuti bangun yang ngga bisa tidur-tidur lagi.
Sekitar pukul lima pagi, aku melihat ke luar jendela karena melihat ada cahaya di luar.
Ternyata, cahaya tersebut berasal dari headlamps rombongan dari Jepang yang pagi-pagi sudah berangkat untuk eksplor daerah di sana. Prabhu yang mengantar mereka pergi menyadari keberadaanku yang mengintip dari jendela.
Aku melambai dan ia cengengesan sambil melambai balik.
Yang mengejutkanku adalah pemandangan di luar jendela: gunung, pohon, batu, tanah… semua tertutup salju. Kemarin baru berjalan di bawah matahari yang cerah, sekarang bangun semua tertutup salju. Cantik sekali.
Tapi…
“Aduh”, pikirku.
Aku pilih bulan Mei sengaja supaya meminimalisasi bertemu salju. Salju memang membuat apapun yang ia selimuti bertambah cantik. Sayangnya, jalan di salju yang setengah mencair sama sekali tidak cantik karena licin. Aku pernah terpeleset saat jalan di salju yang setengah mencair.
Efek perubahan iklim memang nyata sehingga bulan Mei pun masih bertemu salju.
Karena tidak bisa tidur lagi, aku putuskan bangun dan jalan-jalan di sekitar Tengboche.
Tengboche adalah desa yang memiliki nilai historis. Desa Tengboche adalah rumah bagi Buddhist monastery penting yang tertua di Nepal. Desa ini juga adalah tempat lahir Tenzing Norgay, sang Sherpa partner Hillary saat mereka menjadi dua orang pertama yang mencapai puncak Everest.
Sekitar pukul 8 pagi, kami berangkat menuju desa selanjutnya: Dingboche. Kami akan menginap dua malam di sana untuk kembali aklimatisasi.
Menurut website Triptins, trek dari Tengboche ke Dingboche punya pemandangan yang sangat bagus. Trek ini juga tidak punya penambahan elevasi yang seekstrim hari-hari sebelumnya.
Aku sudah senang dan membayangkan yang indah-indah.
Sayangnya sekali lagi seperti biasa:
Tidak semudah itu, Ferguso.
Pemandangan salju indah yang kami lihat di pagi hari ternyata adalah hiburan sebelum menghadapi perjalanan hari itu.
What went wrong?
Apa yang menanti kami di perjalanan?
Bagaimana kelanjutan side story Mbak Vietnam?
Cari tahu di bagian tiga.