Cerita trekking Everest Base Camp #3
Tulisan ini adalah bagian dari catatan perjalananku selama mengikuti trek EBC jaluk klasik.
Tautan ke bagian pertama di sini.
Tautan ke bagian kedua di sini.
Bagian kedua berakhir di pagi hari ke-5 di mana kami akan meneruskan perjalanan dari Tengboche ke Dingboche. Setelah hari sebelumnya kami jalan di bawah matahari yang cerah, pagi itu kami bangun disambut pemandangan serba putih dari salju yang menyelimuti Tengboche.
Apa yang menanti kami selepas Tengboche?
Langit saat kami mulai berjalan terang. Tidak biru memang, tapi putih cerah.
Kami berjalan menghindari salju setengah mencair di trek. Di sepanjang perjalanan keluar dari Tengboche dan melewati desa Deboche, salju di sepanjang trek makin hilang.
Udara pagi itu … ASTAGA DINGIN. Sesekali angin bertiup membuat dingin makin menusuk. Bisa dilihat dari kedua foto di atas kalau semua peserta menggunakan penutup kepala/hoodie untuk menghindari dingin.
Kami berjalan melewati desa Deboche dan menyeberang jembatan gantung Imja.
Selepas dari jembatan Imja, kami melihat yak-yak gondrong yang merumput di tebing-tebing sisi trek.
Yak adalah hewan campuran kerbau dan sapi berbulu yang sering digunakan sebagai beast of burden, hewan yang digunakan untuk mengangkut barang. Barang yang diangkut oleh yak bisa berupa logistik penduduk setempat maupun barang dari para pendaki. Kaki mereka memungkinkan mereka parkur dengan lincah di tebing-tebing.
Yak, dan hewan-hewan pengangkut lain seperti keledai dan kuda, mengenakan lonceng di leher mereka. Kalau di jalan ada suara “klinting-klinting” dari suara lonceng, berarti ada rombongan yak, keledai, atau kuda yang mendekat.
Perlu diingat kalau di sepanjang trek, pendaki harus memberi prioritas pada rombongan hewan, porter, dan pendaki yang turun. Kalau mlipir dari yak, selalu ambil sisi yang menjauh dari jurang. Takutnya adalah apes tersenggol jatuh ke jurang.
Yak ini hidupnya penuh faedah.
Selain untuk mengangkut barang, bulunya yang rontok saat menjelang musim panas digunakan untuk membuat topi dan pakaian hangat. Susunya diolah menjadi yak cheese yang digunakan di masakan-masakan. Dagingnya pun bisa dimakan.
Bahkan kotoran yak pun berguna.
Kotoran yak biasa dikeringkan membentuk lempengan bundar yang digunakan untuk bahan bakar pemanas ruangan, termasuk di penginapan-penginapan.
Hah??? Jadi, selama ini kalian berdiang dengan pemanas bahan bakar kotoran yak?
Bodo amat.
Ngga ada yang peduli. Daripada mati kedinginan.
Yak sangat fotogenik dan selalu menyenangkan untuk dilihat di perjalanan. Sayang keinginanku mengelus yak tidak kesampaian.
Prakash melarang keras tamu-tamunya memegang yak. Bahaya katanya. Mereka memang bisa bereaksi dengan cepat menyeruduk orang dengan tanduk-tanduk mereka yang tajam.
Beberapa kali di sepanjang perjalanan aku berhenti dulu karena macet akibat ada yak yang nongkrong melintang di trek. Mesti tunggu ada pemiliknya (atau orang lokal) yang mengusirnya ke pinggir.
Yak yang kami lihat selepas jembatan Imja punya bulu yang lebih panjang dan lebat dibanding yang kami lihat di elevasi lebih rendah. Rupanya, makin tinggi ke atas, bulu yak makin gondrong menyesuaikan habitat mereka yang lebih harsh.
Setelah melewati beberapa yak gondrong inilah langit dengan cepat berubah menjadi mendung dan berkabut.
Kalau menurut Triptins, perjalanan menuju Dingboche akan ditemani pemandangan indah pegunungan salju dan sungai glasier saat berjalan di sepanjang lembah; realitanya adalah saat itu pegunungan di sekitar tidak tampak sama sekali karena kabut.
Air dan salju mulai turun.
Takut kakiku berulah di tengah cuaca buruk, aku minta tolong Prakash untuk kembali membawakan ranselku.
Kami berjalan menembus campuran salju dan air.
Kita cari tahu dulu bagaimana kabar Mbak Vietnam.
Sejak di airport Ramechhap, bandara yang kami gunakan untuk naik pesawat ke Lukla, aku sudah notice keberadaan si Mbak Vietnam. Di perjalanan antara Lukla dan Namche Bazaar, aku pun melihat ia dan rombongannya beberapa kali di trek.
Karena ngga ada alasan membicarakan si Mbak Vietnam, aku diam-diam saja tidak komentar.
Baru setelah drama ia sakit dan ditolong oleh group kami, satu group baru saling tahu kalau sebenarnya semua orang notice keberadaannya meski diam-diam saja :))
Bagaimana tidak? Penampilannya sangat lain dibanding para pendaki lainnya.
Sejak di Lukla dan di sepanjang perjalanan dari Lukla ke Namche, ia mengenakan fur bucket hat warna ungu muda. Topi dan warnanya sangat mudah dikenali di antara para pendaki lain yang umumnya pakai topi dengan model dan warna pasaran: hitam, biru, hitam lagi, biru shade lain, mentok paling kuning atau merah.
Di airport Ramechhap, beda dengan orang-orang lain yang umumnya bawa carrier dan atau duffel bag, ia bawa tas backpack yang fashionable lucu-lucu dan koper cabin warna kuning.
Di sepanjang trek ke Namche Bazaar, lain dengan kebanyakan orang yang memakai celana panjang, ia menggunakan celana pendek dan stocking hitam. Belum selesai di situ: aku juga merasa ada yang aneh dengan sepatu yang ia gunakan. Awalnya aku ngga ngeh apa itu feeling aneh yang kurasakan.
“Sepatunya sepatu DocMart yang masih baru,” kata Ari menambahkan saat kami membahas outfit si Mbak Vietnam.
Astaga, iya benar, ia pakai sepatu DocMart yang masih mengkilap. Sementara pendaki lain menggunakan sepatu gunung yang memang dirancang untuk trekking, ia sendiri menggunakan sepatu DocMart yang bukan di-design dan tidak disarankan untuk digunakan untuk hiking,.
Yang lebih parah lagi adalah DocMart yang ia pakai masih baru alias belum di-break in. Pantang naik gunung pakai sepatu kulit yang masih baru karena kaku. Salahnya dobel.
Seperti yang kuceritakan di bagian dua, kami kembali bertemu dengannya saat turun dari aklimatisasi. Lagi-lagi, ia tampak saltum di antara para pendaki dan warga lokal lain:
Untuk trekking aklimatisasi, ia pakai rok panjang sampai ke mata kaki. Aku sampai tidak terlalu memperhatikan ia pakai atasan apa karena terlalu terpana dengan rok panjangnya yang motif bunga-bunga pink kecil-kecil.
Fashion si Mbak Vietnam membuatnya kembali jadi topik di rombongan.
“Tadi si Mbak Vietnam naik pakai rok panjang.”
“Model kali, ya, butuh photoshoot.”
“Kayanya, sih, memang model, ya. Kan memang tinggi, kakinya jenjang”.
“Iya bener, tapi saltum.”
Mbak Tiwi, teman satu kamarku di perjalanan, sempat bertukar akun social media dengannya saat kami bertemu di aklimatisasi. Alhasil, kami jadi up-to-date dengan kabar mbak Vietnam meskipun tidak bertemu lagi selepas Namche.
Hari itu, ia tadinya berencana untuk datang ke penginapan kami di Hill-ten untuk makan malam bersama. Akan tetapi, ia kembali sakit dan tidak enak badan sehingga makan malam bersama pun batal.
Ia disarankan oleh porter-nya untuk turun kembali ke Kathmandu karena tidak kunjung fit. Masuk akal menurutku. Makin ke atas, makin naik elevasi, akan makin berat di badan. Plus, evakuasi kalau ada apa-apa akan makin susah.
Belakangan kami baru tahu kalau pada akhirnya dia memang balik ke Kathmandu.
Komentar kami di group kurang lebih seperti ini:
Ya, memang sebaiknya turun, sih.
Sakit gitu. Sudah salah juga dari awal. Kelihatan dari bajunya. Ia juga sempat ngomel dengan porternya; ngga boleh begitu sama porter.
Stylish boleh. Tapi, ya, mengerti tempat.
Mungkin, ia pergi trekking ke EBC asal saja berangkat demi konten tanpa persiapan yang benar-benar. Mungkin…
Kita tidak pernah tahu thought process dia sebelum berangkat.
Saat pergi ke tempat yang cukup ‘ekstrim’, ada banyak sekali hal yang bisa ‘salah’, mulai dari penerbangan, cuaca, badan tidak enak badan, barang yang kuranglah, apalah. Setidaknya, kurangi kemungkinan terjadi hal aneh-aneh di jalan dengan mencari tahu tentang tempat tujuan dan memakai pakaian yang tepat.
Kita kembali ke rombonganku yang bertemu cuaca buruk.
Aku pernah tinggal maupun pergi liburan ke negara empat musim saat saljunya masih tebal. Tapi, berjalan berjam-jam di bawah hujan air dan salju di udara yang dingin dan berkabut belum pernah kurasakan.
Hal yang biasa dilakukan orang-orang kalau ada hujan salju adalah pergi masuk gedung atau mencari tempat berteduh dengan pemanas untuk menghindari dingin.
Itu luxury yang saat itu tidak ada. Yang ada di sekitar cuma batu, lumpur, pohon, dan semak-semak.
Pilihan saat itu yang ada hanyalah jalan terus.
Yang kupikirkan saat itu sepanjang jalan hanyalah:
One foot in front of the other. Do it again.
One foot in front of the other. Do it again.
One foot in front of the other. Do it again.
Di suatu desa, kami berhenti dulu untuk break minum teh.
Akibat cuaca yang tough, rasanya sudah lama sekali kami berjalan. Padahal, jarak yang kami tempuh juga bahkan belum setengah perjalanan, tempat makan siang pun belum tercapai.
Kami berjalan lebih lambat dari pada rencana.
“Kalau lambat dan masih jauh, kenapa harus break dulu dan tidak langsung kita jalan langsung ke tempat makan siang?”, tanya salah satu anggota tim.
“Ya, teman-teman pada ngga kuat,” kata Mas Rizky.
Memang benar. Teman-teman di rombongan pada tidak banyak bicara saat itu. Seseorang diam atau ada suaranya merupakan indikator awal apakah ia baik-baik saja: ada suaranya berarti baik-baik saja, diam berarti ada yang ngga beres. Teman-teman seperti Mba Dita dan Opa pun sempat tertinggal jauh di belakang.
Sejak break hari itu sampai seterusnya perjalanan ke EBC, aku selalu minum minuman jompo demi booster dan penghangat: hot ginger honey lemon.
Setelah break, bukannya reda, hujan air dan salju makin deras. Kami kembali berjalan menembus hujan salju.
Yang kusyukuri adalah entah di sini, atau di sepanjang jalan, tidak ada teman sekelompok yang mengeluh atau marah-marah, semenyebalkan apapun perjalannya.
Ya, memang begini namanya faktor cuaca di gunung yang tidak bisa dikontrol. Tidak ada pilihan lain selain tetap berjalan. Balik ngga bisa; stay di tempat break terlalu lama atau menunggu cuaca lebih baik hanya akan menambah risiko perjalanan di depan.
Sekitar pukul 1 siang kami sampai di desa Shomare, tempat makan siang: kami sudah menembus ketinggian 4000m.
Selesai makan siang, kami kembali mengenakan jas hujan kami untuk lanjut supaya bisa sampai Dingboche sebelum gelap.
Kalau melihat kembali rekaman-rekaman saat jalan di bawah salju menuju Dingboche, aku terpikir: Astaga, kenapa kemarin bisa, ya, jalan berjam-jam melewati gini-ginian?
Makin mendekati Dingboche, hujan dan salju makin mereda. Langit berangsur biru cerah meskipun kabut dan awan tebal masih membayangi.
Pohon-pohon cemara yang masih kami temui di desa Tengboche sudah hilang semua berganti dengan semak-semak.
Sekitar pukul empat sore desa Dingboche mulai tampak.
Aku, Dita, Ari, dan Mba Tiwi mengikuti Kumar yang berjalan di depan. Teman-teman lain ditemani Mas Rizky dan Prakash.
Saat kami sudah masuk ke Dingboche, Kumar masih jalan terus. Kq ngga sampai-sampai ini Kumar kapan beloknya?
Ternyata tempat penginapan kami ada di ujung Dingboche. Nama tempatnya Mountain Paradise Lodge. Caretakernya bernama Didi, seorang wanita di sekitar usia akhir 30an.
Senang sekali kami sampai sebelum gelap.
Di tempat penginapan ini tidak ada sinyal handphone sehingga aku membeli akses WiFi. Makin ke atas makin mahal. Aku lupa berapa tepatnya tapi kalau tidak salah harga WiFi 200–300 NPR (1.5–2.5 USD) dan charge tiap device sampai full sekitar 500 NPR (3.8 USD).
Malam itu, kebanyakan anggota tidak banyak ulah akibat cukup lelah secara fisik dan mental setelah dihajar hujan salju seharian. Takut sakit, malam itu aku minum tolak angin dua sekaligus. Tak lupa juga minuman jompo andalan: honey ginger lemon.
“Kumar, today was tough,” kataku padaku Kumar.
Ia menjawab:
“It’s the mountains. The weather can be unpredictable.”
Opa dan Mba Dita kelihatannya yang paling drop. Sejak hari itu dan setelahnya-setelahnya, Opa selalu memuji Prakash, porter yang cekatan dan setia menemani beliau jalan selambat apapun.
Tapi, Ko Iwan lah yang memberiku berita mengejutkan.
“Mba Cit, aku kemungkinan ngga jadi lanjut ke Gokyo. Melihat cuaca kaya tadi, jalan ke Gokyo bakalan jalan di es dan salju. Jadi, mau lihat cuaca besok dulu.”
Waduh, Ko Iwan sudah bilang begitu, Mba Dita juga kelihatan makin tidak sehat. Mba Dita ngga ikut sudah pasti Mas Fahmi, suaminya tidak ikut. Bagaimana nasibku?
Efek elevasi katanya bisa menyerang siapa saja tak peduli umur, gender, maupun fitness level.
Dan ini terbukti benar.
Semua anggota rombongan kami punya fitness level yang baik: ada divers, pelari, atlet basket, Ari dan Ko Iwan yang memang pendaki gunung, Opa yang paling fit di hash house-nya di Magelang. Aku juga merasa fitness levelku tidak buruk.
Tapi sejak di Dingboche inilah keluhan macam-macam mulai timbul. Salah satu yang makin parah buatku adalah tidak bisa tidur.
Mengherankan sekali. Badan secapek itu, tapi tidur kok tidak bisa.
Akar masalah dari tidak bisa tidur itu lagi-lagi akibat oksigen yang menipis di ketinggian. Tubuh memompa jantung lebih cepat untuk menyesuaikan kondisi ini. Akibatnya, resting heart rate menjadi lebih tinggi.
Detak jantung yang lebih cepat inilah yang bisa menyebabkan susah tidur.
Kalau di tempat lain, tidak bisa tidur bisa scrolling internet supaya harapannya ngantuk dan waktu cepat berlalu. Sayangnya, sinyal WiFi dan sinyal Ncell tidak ada. Jalan-jalan ke luar pun dingin dan gelap.
Jadilah sepanjang malam cuma cosplay tidur. Ini pagi kapan datang, ya?