Cerita trekking Everest Base Camp #4
Tulisan ini adalah bagian dari catatan perjalananku selama mengikuti trek EBC jaluk klasik.
Tautan ke bagian pertama di sini.
Tautan ke bagian kedua di sini.
Tautan ke bagian ketiga di sini.
Bagian ketiga berakhir saat tim sudah selamat sampai Dingboche. Aku yang lagi-lagi tidak bisa tidur tidak sabar menunggu pagi datang.
5 Mei: Dingboche (4410 m)
Setelah seharian berjalan di cuaca buruk dari Tengboche ke Dingboche, kami beruntung keesokan harinya adalah hari aklimatisasi. Memang bukan berarti bisa santai-santai, tapi setidaknya kami tidak perlu packing kembali, bisa pergi sedikit lebih siang, dan tidak ada pressure untuk harus sampai ke desa selanjutnya.
Setelah sarapan dan ngobat Diomax, kami pergi ke puncak Nangkartshang.
Selama perjalanan, tempat menginap kami selalu terasa ‘jauh’ dan ‘ada di pinggiran’ dari arah kami datang: Phakding star yang di pinggiran Phakding, Hill-ten yang ada di atas bukit, dan Mountain Paradise yang ada di ujung Dingboche.
Makin ke atas, makin jelas dasar pemilihan tempat-tempat tersebut yang terkesan ‘jauh’: sewaktu datang, peserta dibuat capek sekalian. Harapannya dengan capek sekalian, peserta lebih gampang istirahat. Saat kami akan melanjutkan perjalanan, sebagian trek sudah ‘dihabiskan’ saat datang.
Hari itu pun, trek aklimatisasi sudah dihabiskan sebagian di hari kami datang.
Judulnya memang aklimatisasi, tapi bukan berarti treknya ringan. Trek hari itu nonstop menanjak sampai ke puncak. Highlight dari hari itu adalah banyak peaks yang terkenal nampak jelas: Ama Dablam dengan puncaknya yang khas, Imja Tse (Island Peak) yang dipakai orang untuk latihan summit Everest, dan juga Lhotse — salah satu puncak dengan tinggi di atas 8ribu meter.
Hari itu tidak semua lanjut mendaki sampai ke puncak. Karena masih ada yang belum pulih dari perjalanan kemarin, ada anggota tim yang pamit di tengah-tengah setelah berjalan ke ketinggian yang cukup untuk bisa pulang kembali dan istirahat.
Aku sempat menulis di tulisan sebelumnya kalau Dingboche ini tempat di mana mulai keluar gejala aneh-aneh.
Aku, meskipun merayap lambat, akhirnya sampai juga ke puncak. Saat di puncak inilah aku merasa sakit kepala. Aku baru tahu belakangan juga kalau di puncak ini Pak Iwan juga sakit kepala.
Selain sakit kepala, aku pun mulai ikut dengan teman-teman kena batuk yang namanya Khumbu cough. Area trekking sebagian besar ada di daerah namanya Khumbu. Khumbu cough ini, ya, batuk yang timbul karena berkunjung di area Khumbu.
Sakit ngga, pilek nggak, tapi tetap saja orang-orang kena Khumbu cough. Batuknya ini seperti batuk kering yang timbul akibat tenggorokan yang kering dan gatal.
Ga bisa diobati. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi rasa kering di tenggorokan dengan makan permen macam Strepsils dan menghindari goreng-gorengan atau makanan yang terlalu manis (macam coklat).
Setelah menghabiskan beberapa lama di atas untuk aklimatisasi, aku mulai turun karena ingin bisa segera makan dan minum obat sakit kepala.
Dengan kondisi peserta yang mau ke Gokyo berguguran, di jalan turun ini Mas Rizky bertanya: “Gimana Mbak Cit, jadi ke Gokyo, kan? Aku bakal temenin soalnya kalau jadi.”
Aku menjawab:
“Tanggung soalnya udah sampai sini. Ya, jadi aja”.
“Iya bener udah sampai sini. Oke, aku ikut ke Gokyo kalau gitu.”
“I will be coming, too,” kata Joshua.
Baiklah, at least ngga ada tiga orang yang akan berangkat. Lega juga Joshua ikut.
Sebenarnya, kenapa perjalanan ke Gokyo Ri ini bisa membuat ciut nyali kalau ngga fit?
Perjalanan ke Gokyo dari rute EBC berat karena harus melewati Chola Pass. Chola Pass ini tanjakannya hampir vertikal, bentuknya seperti V terbalik. Ada porsi di mana peserta harus jalan pakai tali dan ada porsi di mana peserta harus jalan di atas es.
Kata Mas Rizki, peserta yang melewati Chola Pass sebelumnya cuma ada dua kategori: menangis …
atau evakuasi darurat.
Serius. Peserta yang lalu ada yang udah mau lewat dan harus dievakuasi darurat dengan helikopter.
Peserta tersebut sakit sampai perlu dicarikan defibrilator in the middle of nowhere oleh porter. Porter tersebut tak lain dan tak bukan adalah porter sakti Prakash yang sanggup naik turun Chola Pass dengan cepat.
Selain evakuasi darurat ini bakal merepotkan orang, biayanya bakal tidak murah. Di trip yang lampau, pernah ada dua peserta yang mesti dievakuasi darurat dengan biaya total 150juta. Hadeeeh, amit-amit. Pokoknya objective-ku di trip ini adalah ngga ada acara evakuasi darurat ^^
Aku pun lanjut turun ke bawah.
Karena ngga tahan dengan sakit kepala yang makin nyut-nyutan, aku makan snack, minum Panadol dan tidur siang.
Sebenarnya, tidur siang sebisa mungkin dihindari. Takutnya adalah makin ngga bisa tidur kalau sudah sempat istirahat di siangnya.
Masalahnya, tidak tidur siang pun ngga menjamin malamnya bisa tidur. Makanya, aku menyempatkan diri istirahat barang satu jam selagi bisa.
Di jalan mau ke ruang makan aku berpapasan dengan Opa. Melihatku, Opa lewat sambil mengomel padaku:
“Sama tamu, kok, kaya gitu. Mandi malah dituduh cuci-cuci!”
Karena bangun tidur dan tidak tahu konteksnya, aku cuma bisa bengong. Setelah sampai di ruang makan dan bertemu peserta lain, aku baru tahu duduk masalahnya.
Di Dingboche ini tamu memang bisa bayar untuk mandi dengan air panas di bilik mandi umum. Didi, wanita caretaker penginapan di sekitar usia 30an akhir, secara manual mengisi tempat penampungan air di atas tempat mandi tersebut kalau airnya habis.
Rupanya tadi Opa mandi dan cukup lama sampai teman-teman melihat Didi bolak-balik isi air 3 kali :))
Curiga Opa bukannya mandi malah cuci-cuci, Didi langsung melabrak Opa tanpa basa-basi.
Aku baru tahu belakangan kalau Didi sempat jadi subyek komplain peserta-peserta lain. Galak katanya.
Kalau kupikir, wajar saja, sih, juga dia tidak bisa sabar dan lemah lembut seperti kebanyakan pengurus tempat menginap di kota-kota.
Didi kuperhatikan mengerjakan semuanya sendiri: membersihkan ruang makan, mengurus pemanas di ruangan, mengisi air tempat mandi, menyapu halaman, mencuci seprai, apapun.
Apa-apa yang ditangani sendiri, kondisi alam yang cukup ekstrim (dingin banget!), dan masih ditambah langsung menghadapi berbagai tamu setiap hari yang aku yakin tingkahnya aneh-aneh tentu melelahkan.
Aku rasa aku pun akan jadi galak kalau ketemu Didi. No more energy to face nonsense.
Aku, sih, ngga ada masalah dengan Didi. Kurasa kalau normal-normal saja, dia ngga akan bersikap galak. Tapi, yah, semua orang beda-beda, tambah lagi banyak yang ada dalam kondisi capek dan tidak fit.
Kata Mba Tiwi, Didi punya harapan untuk bisa main ke pantai dan pakai bikini. Go Didi!
Dengan cuaca yang cerah dan suhu yang lumayan bersahabat, siang itu banyak peserta yang mengambil kesempatan untuk mandi. Kata Mba Dita dan Mas Fahmi, mereka merasa jauh badan sangat segar setelah mandi.
Ternyata benar.
Bermodal 700 NPR (sekitar 81ribu rupiah) aku mandi dan keramas dengan air yang pertama kalinya sejak meninggalkan hotel di Kathmandu beberapa hari lalu. Badan terasa jauh lebih segar.
Sinar matahari juga cerah sehingga aku pun sempat berjemur di luar.
Selain keluhan di badan yang makin aneh-aneh, ternyata gadget pun tidak mau kalah berulah dan menderita yang aneh-aneh.
Aku dan teman-teman sekelompok banyak yang mengenakan smart watch.
Jam tangan Apple dan Samsung punya teman-teman nggak mau di-charge. Tapi Fitbit, jam yang kupakai, dan Garmin masih sehat-sehat saja.
Efek udara dingin (dan mungkin ketinggian?) membuat batterai jadi tidak berfungsi sebaik biasanya. Barang elektronik yang penting seperti power bank sebaiknya bawa yang berkualitas untuk menghindari tidak mau di-charge ataupun mengecharge.
Power bank yang kubeli di Minisoo ternyata NGMI (not gonna make it)!
6 Mei: Dingboche (4410 m) — Lobuche (4940 m)
Lagi-lagi, aku tidak bisa tidur. Aku melewati satu lagi malam cuma cosplay tidur. Tanpa kusadari, malam-malam tanpa tidur ini membuat badanku makin lama makin drop.
Perjalanan ke Lobuche diawali dengan rute menanjak yang sama dengan hari aklimatisasi. Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan melewati semacam padang bersemak-semak.
Di perjalanan menuju Lobuche inilah, efek berhari-hari tidak tidur mulai sangat terasa. Tenaga ada, tapi stamina rasanya tidak bisa keluar. Jalan sedikit sudah membuatku mesti berhenti untuk break.
Beruntung hari itu udara sangat cerah dengan langit biru. Pemandangan pegunungan berselimut salju menemani kami sepanjang jalan.
Di sepanjang trek aku jalan di belakang bersama Opa yang ditemani Prakash.
Hiburan selama di jalan adalah pemandangan pegunungan yang menakjubkan dan… Lukla.
Lukla adalah anjing tiga warna yang kami temui di perjalanan menuju Lobuche. Sebenarnya namanya nggak tahu siapa. Tapi demi kepraktisan dalam memanggil si anjing, group kami menamainya Lukla. Karena dengar kami memanggilnya Lukla, orang-orang lain pun ikut memanggilnya Lukla.
Lukla ini ramah sekali.
Sepanjang sisa perjalanan ke Everest Base Camp beberapa kali Lukla menemani kami di perjalanan. Mungkin ia ketagihan karena diberi makan telur rebus oleh Mba Dita :))
Makin menuju tempat makan siang badanku rasanya makin ngga karuan.
Tahu rasanya badan saat akan sakit/demam? Itulah yang kurasakan. Selain badan yang tidak enak, sakit kepala yang kurasakan saat naik bukit aklimatisasi kembali datang.
Yang kukhawatirkan adalah paruh kedua perjalanan: lami nanti akan melewati Thukla Pass yang curam. Bagaimana nanti melewati Thukla Pass kalau badan tanpa tenaga dan ngga karuan seperti ini?
Di tempat makan siang, aku minum obat sakit kepala dan Enervon-C yang kudapat dari Mas Rizky. Aku menyempatkan tidur 5–10 menit di pojokan sambil menunggu makanan datang. Waktu itu aku ingat memesan Sherpa soup — semacam sop dengan kuah kental — tapi sebagian besar tidak tertelan.
Beberapa peserta merasa makin tidak nafsu makan makin naik ke atas. Inilah mengapa penting bawa bekal makanan dan minuman kesukaan dari rumah.
Aku sendiri baru merasa tidak nafsu makan (dan efek serasa badan tidak fit) di perjalanan menuju Lobuche ini.
Sewaktu melihat video dokumentasi makan siang di Thukla selepas trip selesai, aku baru tahu: astaga, siang itu tampangku kusut betul!
Beruntung setelah minum sakit kepala dan doping enervon-c, aku merasa badan jauh lebih sehat.
Kami mulai naik Thukla Pass.
Thukla pass ini kemiringannya nyaris vertikal. Selain trek yang curam dan berbatu, tantangan dari Thukla Pass adalah sinar matahari dan angin. Selama naik Thukla Pass, kami terekspos langsung dengan sinar matahari di kepala. Pantulan sinar matahari dari pegunungan sekitar juga menyilaukan mata.
Selain matahari, angin juga menambah cobaan saat naik Thukla Pass.
Angin di sekitar sana cenderung bertiup ke arah yang sejalan dengan arah trek (prevailing wind, hayah). Kalau menengok ke arah datang, astaga anginnya! Dingin menggigil langsung bertiup menabrak ke muka. Makanya naik Thukla Pass ini direkomendasikan pakai kacamata dan tutup kepala.
Di atas Thukla Pass, kami bernapas sebentar di Memorial of The Fallen. Di sini banyak tugu memorial sebagai bentuk penghormatan bagi pendaki yang meninggal saat entah naik atau turun Everest.
Selepas Thukla Pass, trek sisa perjalanan menuju Lobuche cukup landai.
Di kilometer-kilometer terakhir menuju Lobuche, makan hanya beberapa sendok saat makan siang jadi terasa. Perut yang terasa kosong membuat tenaga untuk berjalan tidak ada.
Aku takut ambruk di jalan sementara makananku ada di tas yang dibawa Prakash.
Aku minta bantuan ke Mbak Dita dan Mas Fahmi yang saat itu berada paling dekat. Mereka langsung sigap memberi madu urai sachet dan juga menawarkan coklat. Teman-teman satu timku pada baik banget!
Menjelang sore kami sampai di Oxygen Inn, tempat menginap di Lobuche.
Di penginapan Lobuche tidak ada sinyal N-cell. Jangankan Edge, tapi benar-benar tanda silang. Aku beli akses wi-fi di resepsionis seharga 600 NPR (~70ribu).
Saat makan malam, kami briefing dan berdiskusi tentang hari berikutnya: “summit day” yang bukan ke summit tapi ke Base Camp.
Perjalanan besok akan panjang.
- Dari Lobuche, kami akan jalan ke Gorakshep dengan durasi sekitar 3 jam.
- Di Gorakshep, kami makan siang dulu kemudian lanjut ke Everest Base Camp dengan durasi sekitar 3 jam juga.
- Dari Everest Base Camp, kami harus kembali ke Gorakshep lagi. Durasi 2–3 jam.
Di Lobuche, inilah ada dua teman yang memutuskan untuk perjalanan ke Gorakshep dan Everest Base Camp pp akan full dengan naik kuda. Keduanya memang sudah merasa sangat tidak sehat, salah satunya bahkan sebenarnya sudah mau minta evakuasi saja di Lobuche itu karena sudah tidak karuan.
Akan tetapi, dengan bujukan banyak orang, akhirnya ia mau menyewa kuda untuk menuju Everest Base Camp karena TANGGUNG BANGET sudah sampai sana.
Bagaimana nasib para travelers yang maju mundur akan ke Gokyo? Di Lobuche ini ternyata nasib kami ditentukan alam.
Dari semula empat orang yang akan pergi, satu mengundurkan diri diikuti dua lagi. Di Dingboche, dua yang tadinya batal memutuskan ikut kembali karena ternyata badan sehat kembali.
Aku sudah senang karena jadinya banyak yang akan ikut. Akan tetapi:
“Ga jadi akan ada yang Gokyo, semuanya batal,” kata Mas Rizky.
Hah???
Ternyata cuaca di Chola Pass buruk dan bersalju. Karena di kondisi normal saja sudah menantang, kondisi cuaca buruk dan bersalju membuatnya berbahaya. Alhasil, waktu itu trek tersebut ditutup beberapa hari bagi semua pendaki.
Pupus sudah ‘mampir’ dulu ke Gokyo :’)
Besok adalah “summit” day.
Di awal perjalanan “summit” ada dua orang yang naik kuda, tapi di akhir ada empat. Aku pun di summit day menghadapi krisis yang lebih ‘gawat’ dari sakit lutut kanan yang kualami di hari kedua.
Apa yang terjadi?
Nantikan di bagian terakhir cerita :))